Kamis, 18 November 2010

7 kebiasaan jomblo yang tidak efektive

Satu : Negatif thinking.
Misalnya, kalau pas lagi jalan sendiri, lalu ada yang tanya (teman
kerja atau teman sekampus lain jurusan), “Koq sendiri?” Langsung deh
reaksinya seperti ini: “Sudah tahu sendiri, pakai tanya-tanya.
Mentang-mentang gua jomblo. Ngenye, ya.”

Atau, suatu kali ngelihat ada orang lain yang ngelihatin: “Kenapa sih
lihat-lihat?! Anehnya ya, karena gua jomblo. Dasar, tamblo (tampang
bloon) luh.”

Padahal, “Koq sendiri?” itu kan pertanyaan standar orang yang pengen
tanya tapi nggak tahu mau tanya apa. Just basa-basi. Nggak ada maksud
apa-apa. Malah kalau tanyanya “Koq berdua?” atau “Sama siapa?” jadi
anehbin konyol. Lha, sudah jelas sendiri pakai tanya “Koq berdua?” atau
“Sama siapa?” segala.

Begitulah kalau sudah dikuasai pikiran negatif. Segala sesuatu
disikapi
secara negatif. Ibarat orang pakai kacamata hitam. Semua yang
dilihatnya serba hitam. Lalu bagaimana dong mengatasinya? Tidak ada
cara lain

ganti kacamatanya dengan kacamata yang lebih terang. Jangan salahkan
obyek yang dilihat.

Dua: Citra diri yang negatif
“Siapalah saya ini. Tampang pas-pasan. Nggak bisa apa-apa pula. Otak
belet, lha nilai kuliah saja hampir tidak pernah bergeser dari C.
Dapet B
tuh untung. A, wah ajaib benar anugerah-Mu deh. Mana ada yang mau
sama
saya. Seandainya saya jadi orang lain pun, nggak bakalan koq saya mau
punya pacar kayak diri saya begini.”

Padahal gambaran kita tentang diri kita sendiri akan sangat
berpengaruh
terhadap pikiran, perasaan dan sikap hidup kita. Ibarat makanan bagi
tubuh kita, citra diri akan sangat menentukan; apakah kita akan
menjadi
pribadi yang optimistis, percaya diri, punya semangat hidup. Atau
sebaliknya, menjadi pribadi yang pesimistis, rendah diri, loyo alias
nggak
punya semangat hidup.

Tiga: Rumput di halaman rumah tetangga kelihatan lebih hijau.
“Duh,enak nian punya pacar kayak die. Kemana-mana ada yang nemenin. Ada
yang
perhatiin and diperhatiin. Adashoulder to cry on. Malam minggu nggak
cengo sendiri di rumah. Lonely. Bisa ngerasain dag dig dug serrr tiap
nunggu doi. Kapan pun dan dimana pun ada yan g selalu bisa di-call.
Pokoknya asyik deh.”

Jadi nganggepnya hidup orang lain tuh lebih enak, lebih baik, lebih
nikmat, lebih segalanya. Lalu kita berandai-andai; seandainya hidup
kita kayak hidup die, dunia kita kayak dunia die. Seolah kita nih baru
bahagia kalau kayak die. Kita jadi kurang bersyukur dengan hidup kita
sendiri.

Padahal, mana ada sih orang yang hidupnya selalu senang. Seperti kata
pepatah Belanda, setiap orang tuh punya salib. Siapa pun pastilah
punya
senang dan susahnya sendiri. Punya pacar pun nggak melulu enak koq.
Kadang ada sebalnya. Kadang bisa bikin jengkel and stress juga.

So, jangan heran kalau yang sudah punya pacar pun bisa mikir begini:
“Duh, enak nian ngejomblo. Bebase sebebas burung di udara. Asyike
seasyik
ikan di laut. Nikmate senikmat udang rebus Mang Engking, Yogyakarta-
apalagi sambal terasinya itu loh, uihh uenakke pol deh.” (apa coba
hubungannya?! hehehe:)

Empat: Berselubung topeng
Nggak jujur dengan diri sendiri. Nggak apa adanya.

Contoh 1 (gayaselebritis: kemayu, dengan sikap bertutur diatur): “Aku
emang belum mau pacaran koq. Suer. Masih ingin sendiri.” – Yang
sebenarnya: aku belum ketemu yang aku mau die mau. Adanya aku mau die
nggak
mau, die mau akunya nggak mau. Adayang aku mau die mau, eh die maunya
mau
nabok sama aku.

Padahal apa salahnya bilang, “Aku bukannya nggak kepengen, tapi belum
ketemu yang pas.” Titik. Kalau bilangnya: belum mau pacaran, masih
ingin
sendiri – besok atau lusa ternyata ketemu yang cocok. Nah, luh baru
nyaho. Malu kanmesti ngejilat ludah kuda (kalau ludah sendiri sudah
biasa:).

Contoh 2 (gayapolitisi: kemaki, dengan sikap bertutur nggak teratur):
“Gue naksir die?! Idihh, amit-amit. Sorry ya, dibayar goceng pun
nggak
bakalan gue ambil!” – Yang sebenarnya: aku sih okelah sama die, tapi
dienya cuek banget. Benci deh aku (dengan gayagenit ala Pelawak
Tessi).

Padahal apa salahnya bilang, “Dienya cuek begitu, mana berani gue.”
Titik. Kalau bilangnya: amit-amit, dibayar goceng pun gua gak bakalan
ambil – dan ternyata die tuh ngesir sama kita, cuma karena die punya
“kemaluan” gede
(baca: pemalu) jadinya die pasang sikap cuek bebek. Sok cool. Nah,
gimana coba kalau begitu?! Masak mau ikut-ikut si selebritis:
ngejilat ludah kuda.

So, tanggalkan topeng itu. Apa adanya sajalah. Tapi ya, jangan
vulgar,
mengobral atau norak. Jujur dengan elegan gitulah.

Lima: Hanyut terbawa perasaan
Nelangsa. Merasa kasihan pada diri sendiri. Seakan dengan ke-jomblo-
an itu, dia menjadi orang yang paling malangdi dunia. Makan jadi nggak
enak (apalagi sayurnya sudah basi, kurang garam pula), tidur nggak
nyenyak (AC mati nggak ada listrik, banyak nyamuk lagi).

Nyanyinya pun lagu Chrisye: “Di malam yang sesunyi ini aku sendiri,
tiada yang menemani…… srot, srot (nyedot ingus). Akhirnya kini
kusadari dia telah pergi tinggalkan diriku….. pufz, pufz (buang
ingus pakailengan baju).
Nanini nananininani ninaneniii (bagian ini nggak
hafal).
Reff: Mengapa terjadi pada diriku, aku tak percaya kau telah
tiada….
hiks, hiks (terisak). Haruskah ku pergi tinggalkan dunia….. hoahh,
hoahh (nangis sejadi-jadinya).”

Selanjutnya no comment deh. Bukan apa-apa, saya takut ikut-ikut
sedih,
ikut-ikut nangis, ikut-ikut sedot ingus. Malah repot. Lagian, orang
yang lagi terhanyut oleh aneka rupa perasaan susah dan sedih
sebetulnya
kannggak butuh kata-kata; ia lebih butuh empati dan simpati.

Saya cuma mau bilang: “You’ll never walk alone, Jomblo (ngutip lagu
yang biasa dinyanyiin fans kesebelasan Inggris). Kan banyak juga yang
jomblo hehehe:).”

Enam: Memaksakan kehendak
Cara halus:

“Hi, cowok, godain kita dong!” (ekstrim: sambil melotot, satu tangan
berkacak pinggang satu tangan lagi menggenggam batu siap ditimpukin).

Atau, “Hi, cewek, kita godain ya!” (ekstrim: sambil memiting seorang
nenek yang kebetulan lewat, dan menodongkan pistol ke keningnya).

Cara kasar:

“Apa pun yang terjadi gua harus dapetin doi; biar gunung-gunung
beranjak dan bukit-bukit bergoyang. Pokoknya harus dan kudu!”
(ekstrim: bayar
segerombolan preman untuk menculik doi, lalu dengan gayakungfu Buce
Li
datang menyelamatkannya).

Atau, “Saya nggak bisa hidup tanpa doi. Sudahlah, saya mau mati saja!
Mana tali, mana tali! Saya mau gantung diri!” (ekstrim: “Bunda, hidup
ini kejam. Kembalikan saja aku ke dalam rahimmu!” – segede gitu
gimana
masukinnya
ya?!”)

Atau, “Marilah kepadaku semua yang letih, lesu dan membutuhkan
kehangatan, aku akan memberikan diriku seutuhnya!” (ekstrim: …..
disensor).

Dan kalau berdoa doanya begini: “Tuhan, kalau dia jodoh saya,
dekatkanlah. Kalau dia bukan jodoh saya, jodohkanlah. Tapi kalau dia
nggak bisa
jadi jodoh saya, biarkan dia ngejomblo seumur hidup. Amin.”

Padahal segala sesuatu yang dipaksakan – apalagi soal jodoh – pasti
akan lebih banyak buruknya daripada baiknya. Usaha tentunya nggak
salah,
punya keinginan mangga silahkan. Tapi iringilah itu dengan penyerahan
diri kepada Sang Khalik: “Bukan hendakku yang jadi, melainkan
kehendak-Mu!
Dengan berusaha dan berserah, hidup akan terasa lebih ringan. Tuhan
tahu apa yang terbaik buat diri kita. Percaya deh.

Tujuh: Sirik.

Orang Manado bilang mangiri. Alias iri dengki. Nggak senang ngelihat
orang lain senang. Senangnya ngejelek-jelekin dan ngecil-ngecilin
kebaikan orang lain. “Alaaa, dia sih piala bergilir. Lihat aja,
bentar lagi
juga dia akan pindah ke pelukan cowok laen. Gua sih amit-amit dapetin
dia!” “Eh elu tahu nggak, dia itu kanbekas pacarnya teman sodara
teman
gue. Nah, kata teman gue, temen gue dari sodaranya, sodaranya dari
temennya yang mantan dia itu, dia pernah terlibat narkoba tuh. Pernah
digerebek polisi segala. Ortunya sampai jual rumahnya untuk bebasin
dia dari
penjara.” Padahal ke-sirik-an hanya akan membuat kita makin buruk di
mata
orang lain. Dan pasti di mata Tuhan juga. Nggak ada faedahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar